Mari berbagi bersama kami dengan menyalurkan infak/shodaqoh anda. Hubungi 085714186820 atau transfer ke BCA no. rek. 167o695286 a/n OJAK

Rabu, 25 April 2012

KEUTAMAAN SEDEKAH



Sedekah merupakan penolak bala, penyubur pahala, dan melipatgandakan rezeki; bagai sebutir benih yang ditanam akan menghasilkan tujuh cabang, yang pada tiap-tiap cabang itu terjurai seratus biji. Dalam Al Qur’an Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman :
مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّئَةُ حَبَّةٍ وَٱللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَآءُ وَٱللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya : “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah  adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.” (Al Baqarah: 261).
Selain itu seorang hamba akan mencapai hakikat kebaikan dengan sedekah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لَنْ تَنَالُواْ ٱلْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُواْ مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali Imran: 92)
Tapi, entah mengapa sebagian manusia justru merasa berat dan susah jika menyisihkan sebagian harta dan perhiasan-perhiasan duniawi yang mereka miliki. Harta yang dikumpulkan dengan susah payah itu, dianggap sebagai miliknya dan tidak ada untungnya jika harus dibagi atau diberikan kepada orang lain. Alasannya takut merugi dan kehilangan jika harus membagi sebagian harta yang telah dikumpulkannya itu. Padahal, dalam setiap harta yang dikumpulkan seseorang, ada hak bagi mereka yang memerlukan dan membutuhkan adalah satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang patut diamalkan.
Tetapi, sifat kikir, merasa rugi dan juga takut miskin kerap menjadi penghalang bagi seseorang untuk membagikan hartanya yang dimiliki, apalagi sesuatu yang amat dicintai. Padahal, di balik uluran tangan atau menyedekahkan harta itu ada keutamaan yang Allah Subhanahu wa Ta’alajanjikan. Apa keutamaan dari janji itu ketika seseorang ringan tangan dalam bersedekah?
Ali bin Muhammad Ad-Dahhami dalam buku Sedekahlah, Maka Kau Akan Kaya (Daar  An-Naba’:2007) membeberkan keutamaan sedekah dan faedahnya yang digali dari beberapa hadits. Adapun keutamaan itu antara lain; sedekah dapat memadamkan kemarahan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dapat menghapus kesalahan, perisai dari api neraka, mengobati penyakit hati, menolak berbagai macam bala’, melipatgandakan pahala, dan masih banyak lagi. Beliau juga menerangkan bagaimana cara melaksanakan sedekah yang paling utama, adab-adab dalam bersedekah, serta beberapa contoh dan teladan dalam bersedekah.
Selain itu, sedekah juga bisa menambahkan kekayaan. Bahkan orang yang bersedekah di waktu pagi, maka dia akan diselamatkan dari bencana alam sepanjang hari itu. Dan jika orang bersedekah pada permulaan malam, dia akan diselamatkan dari bencana disepanjang malam. Dengan sedekah, sakit pun bisa sembuh. Karena itu, kalau orang memenuhi kebutuhan rumah tangga seorang Muslim, menyelamatkan mereka dari kelaparan, memberi mereka pakaian dan melindungi kehormatan mereka, amalnya lebih baik dibandingkan berhaji sebanyak tujuh kali. Padahal, berhaji itu lebih baik dibandingkan dengan memerdekakan tujuh puluh budak dan orang yang membebaskan budak, maka Allah akan membebaskan setiap tubuhnya dari api neraka untuk satu anggota tubuh seorang budak yang dibebaskan itu.
Karena itulah, kita tak lagi asing mendengar kisah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang amat ringan tangan dalam bersedekah. Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiallahu’anhutelah menginfakkan seluruh hartanya dalam suatu kesempatan, dan Umar Radhiallahu’anhumenginfakkan separoh hartanya, sedangkan Utsman Radhiallahu’anhu menyiapkan bekal seluruh pasukan al-‘usrah. Jika kita merasa berat dengan sedekah harta, ada banyak bentuk sedekah lain yang bisa kita lakukan. Salah satunya adalah sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa “Senyum dihadapan saudaramu adalah sedekah” (Riwayat Muslim).
Nah, semoga kita dapat meneladani apa yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamdan para sahabatnya untuk mendapatkan balasan yang sudah dijanjikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sejumlah keutamaan di balik sedekah itu. Amin!!

Sumber artikel : An - Naba online


RAHASIA DI BALIK SEDEKAH DAN INFAK


1. Sedekah merupakan perintah Allah

Allah Ta`ala berfirman :
” Hai
 orang – orang yg beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yg pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafaat. Dan orang – orang kafir itulah orang – orang yg zalim ” ( Al Baqarah, 2:254 )
Yang dimaksud Syafaat di atas ialah usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. Melalui ayat diatas Allah memerintahkan hamba-hambaNYA supaya menginfakkan sebagian dari apa yang telah DIA karuniakan kepada mereka dijalan NYA, yaitu jalan kebaikan. Agar pahala infak tersebut tersimpan di sisi Allah Ta`ala dan supaya mereka segera mengerjakan hal tersebut dalam kehidupan dunia ini.
http://achmadarifin.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif
Yang dimaksud “hari” ialah hari kiamat, yang pada saat itu persahabatan dan kekerabatan tidak lagi bermanfaat, bahkan keturunan sekalipun tidak bisa berbuat apa-apa. Dan pada hari itu tidak ada orang yang yang lebih zalim dari orang yang menghadap Allah dalam keadaan kafir.
Termasuk membelanjakan harta di jalan kebaikan adalah : membangun dan memelihara tempat – tempat ibadah, membangun sarana pendidikan, membiayai ongkos pendidikan orang2 tak mampu, menyantuni fakir miskin, menolong orang2 yang menderita akibat peperangan dan orang2 yang tertimpa musibah, dan membangun sarana serta fasilitas untuk menunjang kelancaran pembangunan agama Islam.
Allah Ta`ala berfirman :
” Katakanlah kepada hamba2 KU yang telah beriman : Hendaklah mereka mendirikan Sholat, menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi2 ataupun terang2an sebelum datang hari ( kiamat ) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan ” (
 Ibrahim, 14:31 )
Ada dua perintah dalam ayat tersebut. Pertama, mendirikan Shalat. Kedua, menginfakkan sebagian harta. Perintah pertama untuk menciptakan dan menjaga hubungan dengan Tuhan. Perintah kedua bermakna untuk menciptakan dan menjaga hubungan antara sesama hamba dan sesama manusia.
Allah memberikan petunjuk tentang cara memberikan infak atau sedekah, yaitu dengan cara terang2an atau sembunyi2. Kedua cara itu harus didasari dengan niat yang ikhlas.
Allah Ta`ala berfirman :
” Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang diantara kamu; lalu ia berkata ” Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang2 yg saleh? ” ( Al Muafiquun, 63:10 )
Harta kekayaan manusia hanya berarti ketika ia masih hidup. Ia dapat menggunakan sesuka hatinya. Adanya perintah infak untuk mengingatkan manusia, bahwa apa yang ia miliki pada hakikat nya adalah milik Allah. Manusia terlahir ke dunia tanpa membawa dan memiliki harta. Dengan kemurahan dan kasih sayang Allah, manusia dapat memiliki apa yang di inginkan nya.
Perintah infak juga sebagai ujian terhadap keimanan seseorang. Manusia yang dikuasai harta kekayaannya tentu akan berat mengeluarkan sebagian hartanya, sekalipun sedikit, Dan sebaliknya bagi orang2 yang yakin , maka ia akan dengan serta merta menyerahkan hartanya di jalan Allah. Orang beriman yakin, bahwa dengan mengeluarkan infak, harta justru bertambah dan berkah.
2. Sedekah sebagai bukti keimanan yang sehat dan kuat.
Dari Abu Malik al-Harits bin Ashim al-Asya`ari ra, ia berkata : Rasulullah bersabda :
“Sering bersuci ( berwudhu ) merupakan bagian dari iman, Tahmid itu memenuhi timbangan amal, tasbih dan tahmid itu keduanya atau salah satunya dapat memenuhi langit dan bumi. Shalat itu cahaya, sedekah itu bukti, kesabaran itu cahaya, Al Qur`an itu hujah bagimu atau menjadi hujah untuk membantahmu. Setiap manusia berangkat dipagi hari lalu menjual dirinya, maka ia membebaskannya atau membinasakannya “. ( HR.Muslim )
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah : ” Adapun sedekah itu menjadi hujah atau bukti (burhan), dan burhan itu adalah sinar yg menyertai wajah matahari. “
Dan dari Hadits Abu Musa : ” Sesungguhnya ruh seorang mukmin itu keluar dari jasadnya bercahaya seperti cahaya matahari. Suatu hujah yang dapat mematahkan argumentasi itu dinamakan ” Burhan “, karena penunjukannya yang jelas atas suatu objek. Maka demikian pula sedekah itu dikatakan “burhan”, karena menjadi bukti yang mantap.”
Maka simaklah makna2 yang tinggi sebagaimana terkandung dalam susunan kalimat dari ucapan2 Nabi S.A.W tersebut, semoga Allah S.W.T memberikan rahmat NYA kepadamu.
3. Sesungguhnya pelaku sedekah sangat merasakan nikmat iman
Dari Abu Darda ra, Nabi S.A.W, beliau bersabda :
 Lima macam yang barang siapa melakukannya disertai iman, maka ia akan masuk surga : Barang siapa memelihara sholat lima waktu dengan sebaik2 nya,m wudunya, rukunnya dan waktu2 nya, serta memberi zakat sebagian harta dengan baik hati (ikhlas)”. Ia berkata : Dan beliau bersabda : ” Demi Allah, tiadalah yang melakukan itu kecuali orang mukmin “.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata : Maksud ( dalam keadaan baik hati ) : atau dengan sedekah sebagai tanda adanya rasa manis dan lezatnya iman. Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abdullah bin Mu`awiyah al-’Amiri dari Nabi S.A.W, beliau bersabda : ” Ada tiga perkara yang barangsiapa melakukannya, maka sungguh ia telah merasakan lezatnya Iman, ialah : Orang yang menyembah Allah yang maha Esa dan sesungguhnya tiada Tuhan kecuali Allah, menunaikan zakat hartanya dengan baik hati yang datang kepadanya setiap tahun “.
Mengeluarkan harta untuk kepentingan agama memang terasa berat, lebih2 seseorang dalam keadaan serba terbatas. Godaan untuk melakukan infak di jalan Allah selalu ada, sepeti bisikan takut harta menjadi berkurang, atau masih banyak keperluan hidup yang mesti dibiayai, dan godaan2 lainnya yang tersembunyi dalam diri.
4. Sedekah itu mensucikan jiwa
Allah Ta`ala berfirman : ” Ambillah zakat dari sebagian harta mereka , dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka , dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya dia kamu itu ( menjadi ) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka, Dan Allah Mendengar lagi Maha Mengetahui “. ( At Taubah, 9 : 103 )
Ketahuilah – semoga Allah memeliharamu – sesungguhnya infak itu dapat mensucikan dirimu dari penyakit pelit dan kikir, dan ia pun dapat mensucikan diri menjadi bersih dan suci.
Ayat ini menjadi undang2 wajibnya mengeluarkan zakat bagi orang yang berharta. Penguasa atau badan yang berwenang untuk pemungutan zakat berhak meminta bahkan memaksa kepada orang2 kaya agar mengeluarkan zakat harta. Orang yang merasa berat mengeluarkan zakat berarti ia bergelimang dengan kekayaan yang kotor.
Dengan mengeluarkan zakat, maka harta akan terlindungi, jiwa menjadi tenang dan hidup penuh kedamaian tanpa ada rasa khawatir. Orang yang tidak mau mengeluarkan zakat atau infak, berarti ia telah berbuat zalim. Harta, dana atau uang zakat dan infak adalah milik orang2 fakir dan miskin. Dengan demikian Islam hendak menciptakan kehidupan yang adil dan serasi dengan adanya perintah zakat atau infak




PERINTAH DAN LARANGAN ALLAH SWT DALAM MEMBELANJAKAN HARTA

Oleh : Furqon Hidayat


Perintah Allah dalam Pembelanjaan Harta
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ialah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Qs.2:161)

Pesan yang sangat indah dari ayat di atas seharusnya merupakan dorongan bagi ummat Islam untuk menafkahkan hartanya. Dalam dataran sosial, refleksi ayat ini apabila diimplementasikan pada kehidupan masyarakat akan membawa ketenangan dan ketentraman bermasyarakat.

Kontribusi menafkahkan sebahagian harta di jalan Allah mencakup banyak aspek meliputi perhatian terhadap pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas pendidikan, pembangunan rumah sakit dan sarana sosial lainnya. (Selanjutnya lihat al-Quran 16:71, 24:22, 25:67, 57:7, 59:9, 64:16, 74:6, 92:17-21, 2:273-274, 2:177, 17:26, 70:19-27, 90:12-16).

Infak dan shadaqah sebagai suatu anjuran mencakup aspek ubudiyah dalam upaya untuk taqarub illallah (mendekatkan diri kepada Allah) dan aspek sosial untuk meningkatkan kerukunan hidup bermasyarakat. Dalam dataran realitas, menafkahkan harta mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia apabila diimbangi dengan kesadaran dan pengelolaan yang baik. Selain menafkahkan harta (infak, shadaqah) hal yang terpenting dalam Islam ialah adanya kewajiban zakat yang telah diatur mekanismenya dalam syariah. Kesadaran untuk menunaikan zakat serta pengelolaan yang baik merupakan sarana jitu untuk membangun bangsa dalam proses mengentaskan kemiskinan.

Islam menyuruh semua orang yang mampu bekerja dan berusaha untuk mencari rezeki dan menutupi kebutuhan diri dan keluarganya. Hal itu dilakukan dengan niat fi sabilillah. Namun, tidak semua orang mampu bekerja dan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya, bagaimana dengan orang-orang yang lemah seperti anak kecil, anak yatim, wanita janda, dan yang sudah uzur? Apa yang dapat dilakukan oleh orang yang mampu bekerja dan berusaha tetapi tidak memperoleh kesempatan? Apa pula yang akan diperbuat oleh orang yang sudah bekerja tetapi penghasilannya tidak memadai? Apakah mereka dibiarkan dalam kemiskinan dan dihimpit kemelaratan? Sementara di sisi lain, di antara masyarakat ada yang berkecukupan bahkan berlebih-lebihan.

Islam menjawab permasalahan tersebut dengan adanya suatu aturan yang sangat teratur, serasi dan seimbang. Salah satu mekanisme pengentasan kemiskinan ialah realisasi zakat dalam pengelolaan yang benar. Secara sangat sistematis al-Quran memberikan gambaran dalam surat at-Taubah ayat 60, "Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (Qs.9:60)

Dalam pembahasan ayat di atas, zakat diberikan pada orang-orang yang berhak mendapatkannya meliputi fakir, miskin, amil, muallaf, gharim, ibnu sabil dan fisabilillah. Apabila dikelola secara amanah dan profesional memberikan kontribusi yang tidak sedikit (Selanjutnya lihat al-Quran 9:103, 2:26, 6:141-142, 9:34-35, 17:26).

Larangan dalam Pembelanjaan Harta
"Maka terbenamlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi, maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya)." (Qs.28:81)

Ayat di atas merupakan salah satu bukti keserakahan akibat dari terlalu cinta terhadap harta sehingga lupa bahwa harta merupakan amanat Allah dan dari sebagian harta tersebut terdapat kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi. Fenomena Karun, apabila dicermati lebih mendalam merupakan salah satu contoh riil dari kecintaan secara berlebihan terhadap harta yang mengarahkan pada suatu keyakinan bahwa hartanya dapat mengekalkan kehidupannya.

Secara bijaksana al-Quran telah menginformasikan suatu larangan berdimensi sosial untuk kesejahteraan manusia agar harta tidak hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Larangan dalam pembelanjaan harta melingkupi tiga (3) macam, antara lain: Pertama, larangan bersikap kikir dan menumpuk harta. Kesadaran untuk membantu penderitaan yang dialami orang-orang yang kekurangan sangat mendapatkan porsi yang besar di dalam Islam. Keseimbangan yang diciptakan Allah dalam bentuk aturan-aturan yang bersifat komprehensif dan universal yaitu al-Quran dalam konteks hubungan sosial, apabila diimplementasikan dengan mengambil suri teladan para Nabi dan Rasul dan orang-orang beriman masa lalu membawa dampak terhadap distribusi pemerataan tingkat kesejahteraan.

Sikap kikir sebagai salah satu sifat-sifat buruk manusia (lihat Qs.70:19) harus dikikis dengan menumbuhkan kesadaran bahwa harta adalah amanah Allah swt yang harus dibelanjakan sebahagian dari harta tersebut kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya.

Larangan kikir terhadap harta membuktikan kurangnya nilai kepekaan sosial, padahal manusia sebagai makhluk sosial (homo_homini_lupus) tidak hanya hidup sendiri tetapi membutuhkan pertolongan orang lain walaupun tidak secara langsung terjadi interaksi.

Sikap kikir akan mengarahkan manusia pada kategori orang-orang yang sombong dan membanggakan diri, dengan menganggap harta yang dimiliki hasil dari jerih payah sendiri tanpa sedikitpun bantuan pihak lain, padahal Allah swt sebagai Pemilik semesta alam beserta isinya termasuk harta yang dimiliki manusia. Firman Allah swt di dalam surat al-Hadiid ayat 23-24: "....Dan Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri, (yaitu) orang-orang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir...." (Qs.57:23-24).

Label sombong yang diberikan oleh Allah swt kepada orang-orang yang kikir, kalau ditelaah lebih jauh lagi membawa paradigma baru (pelaksanaan nilai-nilai Islami) menuju pemerataan kesejahteraan dengan meninggalkan paradigma lama (sikap kikir). Selanjutnya lihat Qs. 4:36-37, 3:180, 9:34-35, 70:15-18, 92:8-11, dan 47:36-38).

Sikap kikir tumbuh dari perilaku menumpuk-numpuk harta dan menghitung-hitung harta tersebut serta mempunyai anggapan bahwa harta tersebut dapat mengekalkan hidupnya. Ada sebuah peringatan dalam al-Quran yang berbunyi: "Kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam huthanah." (Qs.104:1-4).

Kedua, larangan berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan. "Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) mesjid, makan, minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (Qs.7:31). "Bermegah-megahan telah melalaikan kamu sampai kamu masuk ke dalam kubur." (Qs.102:1-2)

Kedua ayat di atas secara tegas memberikan arahan untuk menghindari sikap berlebih-lebihan dan bermegah-megahan dalam hidup.

Fenomena zaman di tengah badai krisis yang melanda bangsa Indonesia sangat tepat untuk mengimplementasikan larangan berlebih-lebihan dan bermegah-megahan. Paradigma sikap hidup berlebih-lebihan dan bermegah-megahan di tengah kondisi sosial masyarakat yang serba kekurangan, membawa dampak kecemburuan sosial dan terbentuknya pengkotak-kotakan struktur sosial masyarakat.

Tanpa landasan akidah yang kuat pada struktur sosial masyarakat, menimbulkan dampak timbulnya kriminalitas disebabkan adanya kesenjangan sosial yang kian menguat. Terjadinya pemborosan-pemborosan di satu sisi sebagai salah satu pengaruh 'pola hidup konsumtif' dan di sisi lain tingkat kemiskinan semakin bertambah besar. Secara realistis fenomena tersebut menimbulkan dua struktur sosial yang saling kontradiktif, apabila tidak dilakukan upaya-upaya penyelesaian akan mengarah pada kekecewaan sosial yang merupakan bentuk lebih jauh dari kecemburuan sosial. Problematika tersebut kian meruncing karena semakin menipisnya tingkat 'kepercayaan' pada pemerintahan dan semua lini kehidupan akan terakumulasi menjadi 'revolusi sosial' yang membawa dampak terhadap kestabilan bangsa dan negara.

Secara tidak langsung al-Quran telah mengajak berdialog dalam sebuah ayat antara lain: "Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaithan dan syaithan itu ialah sangat ingkar kepada Tuhannya." (Qs.17:27)

Nasehat tersebut apabila direfleksikan dalam kehidupan modern dewasa ini memberikan kontribusi yang sangat besar dalam upaya menciptakan ketentraman dan keamanan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya lihat Qs. 46:20, 3:14, 18:28, 28:77-78, 34:34-37, 57:20, 89:20, 3:10.

Pembahasan mengenai berlebih-lebihan dan bermewahan-mewahan dalam penggunaan harta sangat terkait dengan konsumsi hidup yang mencakup kebutuhan sandang, pangan, papan, secara spesifik al-Quran telah memberikan suatu nasehat yang sangat berharga yaitu: "Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah jika hanya kepada-Nya saja kamu menyembah." (Qs.16:114)

Cakupan pembahasan di atas merupakan larangan mengkonsumsi makanan-makanan yang diharamkan termasuk di dalamnya khamr (lihat Qs.5:90-93), larangan mengkonsumsi bangkai, darah, babi, binatang yang disembelih disebut selain nama Allah, hewan yang dicekik, dipukul, jatuh, ditanduk dan jenis makanan lainnya yang telah ditetapkan syari'ah (selanjutnya lihat Qs.5:3-4, 5:96, 2:168, 2:173, 7:32, 5:90).

Ketiga, larangan riba. "Orang yang makan (mengambil riba) tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaithan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (Qs.al-Baqarah:275)

Penegasan yang sangat jelas dari ayat di atas memberikan penjelasan mengenai larangan riba dalam realisasi sistem perekonomian. Riba patut mendapatkan porsi pembelanjaan harta karena sangat berkaitan dengan praktek-praktek yang telah berjalan pada penggunaan harta dalam masyarakat. Riba terdiri dari 2 (dua) macam yaitu nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan sedangkan riba fadhl adalah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini adalah riba nasiah yang berlipat ganda dan umum terjadi dalam masyarakat Arab jahiliyah.5 (Selanjutnya lihat Qs.2:276-279, 3:130-131, 30:39, 4:161).

Keempat, yaitu larangan riya. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir." (Qs.2:264)

Ayat di atas merupakan peringatan dari al-Quran agar dalam beramal tidak diiringi dengan riya. Riya merupakan penyakit yang harus segera diobati dengan menghilangkan sikap riya tersebut. Amal orang-orang yang riya akan membawa kerugian karena amalan-amalan tersebut tidak mendapatkan pahala di sisi Allah.

Riya ialah melakukan suatu amalan perbuatan bukan untuk mencari keridhaan Allah tetapi untuk mencari pujian dan kemashuran dalam masyarakat. Dalam dataran pembelanjaan harta, riya sangat merusak keharmonisan hubungan antar manusia (human relation) karena akan menyebabkan dua kerugian yaitu kerugian terhadap penerima harta tersebut dan pemberi itu sendiri. Bagi penerima kerugian yang diterima ialah perasaan 'sakit', sedangkan bagi pemberi akan menyebabkan kerugian berupa hampanya amal dari pemberian harta tersebut. (Selanjutnya lihat Qs.8:47, 4:38, 3:18, 107:6).

Kesimpulan

Dari beberapa uraian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan antara lain:
1) Perintah Allah melalui al-Quran, yang disampaikan oleh para Nabi dan rasul-rasul-Nya memerintahkan untuk menafkahkan sebahagian harta yang dimiliki.
2) Zakat sebagai sistem ubudiyah yang berdimensi sosial memberikan kontribusi terhadap pemerataan kesejahteraan masyarakat.
3) Kisah tentang Karun di dalam al-Quran memberikan pengajaran (ibroh) mengenai orang-orang yang menumpuk-numpuk hartanya dan berlaku kikir akan diberikan adzab oleh Allah.
4) Larangan-larangan Allah terhadap orang-orang yang menimbun harta dan berlaku kikir.
5) Larangan-larangan Allah terhadap sikap pola hidup berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan dalam pembelanjaan harta.
6) Larangan mengadopsi riba.
7) Larangan bersikap riya dalam beramal

Artikel dicopy dari : IRIB WORD SERVICE (20 April 2012)
Judul Asli : Mekanisne Pembelanjaan Harta Dalam Perspektif Al-Qur'an



Selasa, 24 April 2012

EMPAT SEBAB TIMBULNYA PROBLEM SOSIAL

Begitulah Al-Qur’an memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menyantuni dan menyayangi anak-anak yatim. Anak yatim adalah mereka yang ditinggal oleh orang tuanya. Al-Qur’an sangat memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan anak yatim sebagaimana berikut,

Berbuat baik kepada anak yatim adalah salah satu tanda orang yang beriman, bertakwa, dan orang-orang yang baik (al-abrar). QS. (Al-Baqarah : 177) dan (QS. Al-Balad : 8)
Menyantuni anak yatim adalah kewajiban sosial setiap orang Islam segera setelah ia mengetahui jalan yang baik dan jalan yang jelek dalam kehidupan . Membela anak yatim adalah satu satu perjuangan dalam Islam (QS. Al-Balad : 15)

Problem sosial timbul, karena empat sebab : tidak memuliakan anak yatim, tidak memberi makank orang miskin, memakan warisan (kekayaan) alam dengan rakus, dan mencintai hartabenda secara berlebihan. (QS. Al-Fajar : 15-20)

Memberikan perhatian terhadap kepentingan anak yatim. (QS. Al-Kahfi : 82)

Bila orang membagikan harta warisan, diperintahkan agar sebagian diberikan kepada karabat, anak yatim, dan orang miskin, dan orang miskin yang tidak mempunyai hak waris. (QS. An-Nisaa’ : 8)

Orang Islam di suruh berhati-hati dalam memelihara harta anak yatim, yaitu dengan tidak mencampurkan harta anak yatim itu dengan harta mereka sendiri. QS. An-Nisaa’ : 2,10). Disuruh-Nya mereka mencari cara yang paling baik untuk mengurus harta anak yatim termasuk . (QS. Al-Aam : 152), dan memakan harta yatim termasuk dosa besar. (QS. An-Nisaa’ : 2, 10).

Orang islam dilarang mempermalukan anak yatim secara sewenang-wenang. (QS. Ad-Dhuha : 9), dan dilarang menghardik (QS. 107 : 2), Ibnu Katsir mengartikan fala taqhar sebagai “Janganlah engkau merendahkan dia, jangan membentak dia, jangan menghinakan mereka, tetapi berbuat baiklah kepdanya, dan sayangilah. (Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4, hal. 523).

Surah Al-Ma’un ayat 2 menyebutkan, bahwa orang yang menghardik anak yatim adalah pendusta agama.

Betapa masih banyaknya anak-anak yatim, anak terlantar, serta para fakir miskin, yang tidak terpelihara dan mendapatkan perhatian, bahkan mereka menjadi gelandangan pengemis, dan bahkan banya diantara mereka pula, yang hidup dalam keadaan sangat menyedihkan.

seharusnya kaum muslimin memberikan perhatian kepada mereka secara ikhlas dan hanya mengharapkan ridho dari Allah Azza Wa Jalla. Wallahu’alam.
(Tafsir QS. An-Nisa [4] : 6)
Allah berkalam:

وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آَنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا (6)

"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup untuk nikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah mempunyai rusydan, maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Siapa yang mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu dengan ma'ruf. Kemudian apabila kamu meyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas (atas persaksian itu)."

Asbabun Nuzul

Dalam tafsir al-munir dikisahkan, bahwa seorang yatim bernama Tsabit bin Rifa'ah. Rifa'ah wafat meninggalkan harta sedangkan Tsabit masih kecil. Pamannya (saudara Rifa'ah) menjadi pengurusnya. Ia mendatangi Rasulullah SAW, katanya "sungguh anak saudaraku seorang yatim dalam pemeliharaanku, apakah hartanya halal jika saya makan? Harus kapan diserahkan kepada Tsabit?" sebagai jawabannya, maka turunlah ayat ini (atas).

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a, bahwa ayat ini diturunkan sekaitan dengan wali anak yatim yang faqir sehingga ia makan hartanya karena sangat membutuhkan.

Tafsir Mufrodat

Nikah
Nikah sering diartikan kawin. Pada ayat ini tidak diartikan kawin, tetapi yang dimaksudkan adalah dewasa, jika laki-laki sudah ihtilam (mimpi bersenggama), kalau perempuan sudah haidl. Tetapi jika dikaitkan dengan harta, maka maksudnya adalah sudah bisa mengurus diri sendiri, mengelola hartanya dan membiayai sendiri. Ayat ini memberi pengertian lain ; sekalipun seorang anak laki-laki sudah ihtilam, jika belum bisa mengurus diri dan hidupnya masih tergantung kepada orang tua, maka ia tidak layak menikah. Demikian juga perempuan yang tidak bisa mengatur belanja belum layak berumah tangga. Disebut siap menikah apabila seseorang sudah mempunyai kematangan biologis, ekonomi, sosial, intelektual, emosional, dan spiritual.

Rusydan
ROSYADA - YARSYUDU artinya memimpin, mengajar, mendapai kedewasaan. ROSYID artinya orang yang berakal, pintar, bijaksana, insaf, yang mengikuti jalan yang benar. RUSYDAN artinya akal, dewasa, keshalehan, kebenaran, kesadaran, jalan yang lurus. Firman Allah

"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat... (QS. Al-Baqarah [2] : 256)

Ma'ruf
AROFA - YA'RIFU - IRFANAN artinya mengetahui, mengenal, mengakui, arif bijaksana, sabar. 'ARIF orangnya, MA'RUF = yang diketahui, maksudnya yang diketahui nilai baiknya. Adat atau sikap yang sopan yang tidak diatur dalam agama tetapi tidak bertentangan dengan syari'at. Misalnya cium tangan kepada Ibu Bapak. Ma'ruf dalam mengelola harta adalah tidak membelanjakan kepada hal-hal yang tidak berguna.

Tafsir Ayat

وَٱبۡتَلُواْ ٱلۡيَتَـٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُواْ ٱلنِّكَاحَ

Didiklah anak-anak yatim dengan agama Islam dan ilmu pengetahuan lain serta keterampilan sebagaimana mendidik anak sendiri, sehingga apabila sudah berumur baligh ujilah mereka. Pengujian tidak dilakukan seperti kepada anak sekolah secara regular. Lihatlah kemampuan kerjanya, perhatikan pelaksanaann ibadahnya, amati tingkah lakunya, ajak ngobrol tentang masa depannya. Latihlah dalam membelanjakan uangnya. Berilah kepercayaan kepadanya untuk mengelola harta secara bertahap. Tanya pula apakah ia sudah siap untuk nikah.

فَإِنۡ ءَانَسۡتُم مِّنۡہُمۡ رُشۡدً۬ا فَٱدۡفَعُوٓاْ إِلَيۡہِمۡ أَمۡوَٲلَهُمۡ‌ۖ

Jika hasilnya menggembirakan sebagaimana yang diharapkan dan kamu benar-benar mengetahui, merasakan dan melihat sikap rusydan pada diri mereka serahkanlah harta mereka. Beritahukan riwayat kekayaannya, asal usul kepemilikan dan perpindahan hak kepengurusannya. Ada ujian bagi orang yang sudah merasa sukses dan diuntungkan dengan mengurus harta yatim, tentu ia tidak ingin segera menyerahkannya. Atau bahkan mengalihkan kepemilikannya. Sebab itu Allah SWT mengancam mereka dengan firmannya

وَلَا تَقۡرَبُواْ مَالَ ٱلۡيَتِيمِ إِلَّا بِٱلَّتِى هِىَ أَحۡسَنُ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ أَشُدَّهُ ۥ‌ۚ وَأَوۡفُواْ بِٱلۡعَهۡدِ‌ۖ إِنَّ ٱلۡعَهۡدَ كَانَ مَسۡـُٔولاً۬

"Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabannya. (QS. Al-Israa [17] : 34)
وَلَا تَأۡكُلُوهَآ إِسۡرَافً۬ا وَبِدَارًا أَن يَكۡبَرُواْ‌ۚ

Saat mereka belum siap menerima tanggung jawab dalam pengelolaan hartanya, janganlan diserahkan kepadanya. Dalam pengelolaan hartanya tidak boleh membelanjakannya secara berlebihan, sehingga melampaui keperluan. Kecuali sangat diperlukan dengan perhitungan sebagai bekal masa depannya. Misalnya untuk biaya sekolah. Itu pun bila tidak ada jalan lain untuk mendanainya. Berhematlah dalam membelanjakannya, jangan habis sebelum mereka dewasa atau mandiri. Dari ayat ini dapat difahami bahwa harta anak yatim harus diurus dan dikembangkan menjadi banyak. Merekapun harus dididik sampai menjadi manusia yang mandiri dan termasuk kategori siap nikah.

وَمَن كَانَ غَنِيًّ۬ا فَلۡيَسۡتَعۡفِفۡ‌ۖ

Bagi orang kaya yang diamanati mengurus harta anak yatim, hendaklah dapat menahan diri dari membelanjakannya. Haram hukumnya memakan harta mereka, sementara ia orang yang berkecukupan. Lebih-lebih jika milik anak yatim itu tidak banyak dan bisa habis sebelum mereka dewasa.

وَمَن كَانَ فَقِيرً۬ا فَلۡيَأۡكُلۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِ‌ۚ

Jika penurus anak yatim itu seorang yang faqir, sedangkan harta yang duruskan banyak, maka tidak mengapa ia makan harta peninggalan itu sebagai upah yang wajar, karena ia sebagai wali yatim. Bahkan bisa mengambil keuntungan dari kepengurusannya bila hasil pengelolaannya melimpah. Hal ini lebih dekat kepadab Musyarakah (bekerja sama antara pemilik modal dengan pengelola).

Aisyah r.a menjelaskan maksud ayat diatas
"Ia mengatakan bahwa ayat WAMAN KAANA GHANIYYAN...BILMA'RUFI (siapa yang kaya hendaklah menahan diri, siapa yang faqir bolehlah ia makan dengan cara ma'ruf). Ayat ini diturunkan tentang wali anak yatim yang mengurusnya dan membereskan hartanya, jika wali itu faqir, ia boleh memakan dari harta itu secara ma'ruf (sekedar memenuhi kebutuhan pokoknya). (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dikisahkan pula orang faqir yang mengurus anak yatim

"Bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi SAW, katanya "Sungguh saya seorang faqir, saya tidak punya apa-apa, tapi saya punya anak yatim." sabda beliau, "Makanlah dari harta anak yatimmu, jangan berlebihan, jangan mubadzir, dan jangan merusak hartanya" (HR Abu Daud)

فَإِذَا دَفَعۡتُمۡ إِلَيۡہِمۡ أَمۡوَٲلَهُمۡ فَأَشۡہِدُواْ عَلَيۡہِمۡ

Dalam serah terima harta anak yatim hendaklah dilakukan dengan acara khusus yang disaksikan kerabat atau walinya dan para saksi yang adil. Alangkah lebh baik jika dicatat berita acara dan dibubuhi tanda tangan para saksi. Hal ini untuk menjaga amanat dab kepercayaan serta menghindari kecurigaan dari pihak-pihak tertentu.

وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبً۬ا

Allah sebagai pengawas atas berita acara serta jalannya kepengurusan, bimbingan, didikannya. Allah mengetahui maksud baik para kafil yatim dan segala usahanya serta menyediakan pahala yang besar bagi mereka. Allah pun mencatat segala kecurangannya serta menyediakan siksa bagi pelakunya.

Jika ada anak yatim khususnya dari keluarga kita atau keluarga yang tidak mampu, jadikanlah ia sebagai peluang untuk beramal shaleh. Baik bagi orang kaya maupun bagi orang miskin. Yang kaya berpeluang untuk membiayai hidupnya. Sedangkan bagi orang miskin terbuka untuk mengurus dan mendidiknya. Orang yang menelantarkan anak yatim apalagi mengusirnya, dicap oleh Allah sebagai pendusta agama. Dan haram hukumnya menyakiti anak yatim. Firman allah

فَأَمَّا ٱلۡيَتِيمَ فَلَا تَقۡهَرۡ

"Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. (QS. Adl Dluhaa [93] : 9)

Sekilas nampaknya gampang-gampang susah mengurus anak yatim, membiarkannya durhaka, mengurusnya khawatir berbuat zhalim. Memang tantangan untuk berbuat baik itu jika tidak didasari iman akan terasa sulit, tetapi kita harus berusaha menjadi orang shaleh orang yang mendidiknya dan mengurus hartanya (kafil) akan mendapat kehormatan di sisi Allah dan Rasul-Nya.

Sabda Rasulullah SAW
"Saya dan kafil anak yatim berada di surga begini (beliau mengisyaratkan telunjuk dan jari tengahnya dan sedikit merengganngkannya) (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

MENYANTUNI ANAK YATIM

Oleh RUDI SETIADI


Sumber : http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1204/10/renungan_jumat.htm
ANAK yatim adalah anak yang ditinggalkan mati ayahnya selagi ia belum mencapai umur balig. Dalam Islam, anak yatim memiliki kedudukan tersendiri. Mereka mendapat perhatian khusus dari Rasulullah saw. Ini tiada lain demi untuk menjaga kelangsungan hidupnya agar jangan sampai telantar hingga menjadi orang yang tidak bertanggung jawab.


Oleh karena itu, banyak sekali hadis yang menyatakan betapa mulianya orang yang mau memelihara anak yatim atau menyantuninya. Sayang, anjuran Beliau itu sampai kini belum begitu mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat. Hanya sebagian kecil saja umat Islam yang mau memperhatikan anjuran itu. Hal ini semestinya tidak layak dilakukan umat Islam yang inti ajarannya banyak menganjurkan saling tolong sesama umat Islam dan bahkan selain umat Islam.




Di Indonesia, khususnya di desa-desa, sampai sekarang kebiasaan memberi uang ala kadarnya pada tanggal 10 Muharam kepada anak yatim masih berlaku. Pada setiap tanggal 10 Muharam, anak-anak yatim bergerombol-gerombol mendatangi rumah-rumah orang kaya atau para dermawan. Di situ mereka memperoleh pembagian uang. Kebiasaan demikian sungguh amat terpuji, tetapi apakah para anak yatim hanya butuh bantuan sekali itu?


Tentunya tidak. Mereka membutuhkan bimbingan sampai dirinya mampu mengarungi bahtera kehidupannya sendiri. Betapa mulianya orang yang mau berbuat demikian, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari bersumber dari Sahl bin Sa’ad bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Saya yang menanggung (memelihara) anak yatim dengan baik ada di surga bagaikan ini, seraya Beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah dan Beliau rentangkan kedua kaki jarinya itu” (H.R. Bukhari).


Allah sendiri berfirman yang artinya, “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa besar (An-Nisaa:2).


Anak yang ditinggal mati oleh ibunya ketika ia masih kecil bukanlah termasuk anak yatim. Sebab bila kita lihat arti kata yatim sendiri ialah kehilangan induknya yang menanggung nafkah. Di dalam Islam yang menjadi penanggung jawab urusan nafkah ini ialah ayah, bukan ibu. Alquran telah menjelaskan adanya larangan memakan harta anak yatim dengan cara lalim sebagaimana firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya orang yang memakan harta anak yatim secara lalim. Sebenarnya mereka itu menelan api neraka sepuluh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala” (An-Nisaa: 10).


Ismail bin Abdurrahman berkata, “Pemakan harta anak yatim dengan lalim itu besok di hari kiamat akan dikumpulkan dan di waktu itu keluarlah api yang menyala-nyala dari mulutnya, telinganya dan matanya sehingga semua orang mengenalnya bahwa ia sebagai pemakan harta anak yatim.”


Para ulama berkata, bagi setiap wali anak yatim bilamana ia dalam keadaan fakir diperbolehkan baginya memakan sebagian anak yatim dengan cara ma’ruf (baik) menurut sekadar kebutuhannya saja demi kemaslahatan untuk memenuhi kebutuhannya tidak boleh berlebih-lebihan dan jika berlebih-lebihan akan menjadi haram. Menurut Ibnul Jauzi dalam menafsirkan “bil ma’ruf” ada 4 jalan yaitu, pertama, mengambil harta anak yatim dengan jalan kiradl. Kedua, memakannya sekadar memenuhi kebutuhan saja. Ketiga, mengambil harta anak yatim hanya sebagai imbalan, apabila ia telah bekerja untuk kepentingan mengurus harta anak yatim itu, dan keempat, memakan harta anak yatim tatkala dalam keadaan terpaksa, dan apabila ia telah mampu, harus mengembalikan dan jika ia benar-benar tidak mampu hal tersebut dihalalkan.
Kecuali mengancam orang yang merugikan harta anak yatim, Allah juga akan mengangkat derajat orang-orang yang suka menyantuni anak yatim; sebagaimana sabda Nabi, “Barang siapa yang menanggung makan dan minum (memelihara) anak yatim dari orang Islam, sampai Allah SWT mencukupkan dia, maka Allah mengharuskan ia masuk surga, kecuali ia melakukan dosa yang tidak terampunkan” (H.R. Turmudzi).


Dari hadis ini, memberikan jaminan bagi orang-orang yang mau mengasuh anak yatim akan memperoleh imbalan pahala dari Allah SWT, berupa surga yang disejajarkan dengan surga Nabi saw., kecuali ia melakukan dosa-dosa yang tidak terampunkan oleh Allah SWT. Demikianlah kewajiban kita sebagai umat Islam dalam menyantuni anak yatim.***





Senin, 23 April 2012

LAPORAN PEMASUKAN DAN PENGELUARAN DANA KAAFILUL YATIM

Assalamu'alaikum warohmatillohi Wabarokaatuh.
Yang terhormat pada donatur, bersama ini kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kepercayaan para donatur untuk ikut bergabung bersama kami dalam ikut membantu meringankan beban para yatim yang ada di lingkungan kami Rt. 05/03 Kampung Parakan Jati Desa Susukan Kecamatan Bojonggede Kabupaten Bogor, Jawa Barat.


Berikut adalah laporan pemasukan, pengeluaran dan saldo Kaafulul Yatim.


Perlu di ketahui bahwa berdasarkan hasil musyawarah majlis ta'lim malam minggu tanggal 21 April 2012 Insya Allah kami akan menyalurkan dana yang telah donatur berikan selain untuk yatim di lingkungan sendiri juga yatim yang ada di lingkungan lain terutama yang berdekatan.

DENGAN KEBERSAMAAN KAAFILUL YATIM BERDIRI DI LINGKUNGAN KAMI

Kaafilul Yatim adalah sebuah organisasi sosial yang bergerak dalam ikut berbagi untuk yatim khususnya para yatim yang ada di lingkunngan sendiri yaitu di Rt. 05/03 Kampung Parakan Jati Desa Susukan Kecamatan Bojonggede Kabupaten Bogor, Jawa Barat.


Organisasi ini berdiri pada bulan Nopember 2009 yang terinspirasi dari sebuah Yayasan Penyantun Yatim yang ada di Desa kami, yang sudah sejak puluhan tahun yang lalu setiap tahun tepatnya setiap bulan Muharam selalu menyantuni para yatim yang ada di Desa Susukan.


Saya sebagai salah seorang warga Rt. 05/03 Kampung Parakan Jati Desa Susukan ketika bulan Oktober 2009, mencoba menawarkan suatu program pada acara pengajian malam minggu dalam rangka ikut berbagi untuk para yatim khususnya di lingkungan sendiri. Program saya tersebut berawal dari keinginan secara pribadi untuk menyantuni yatim setiap bulan, tetapi hal itu sulit untuk saya realisasikan mengingat saya bukan orang berada. Saya hanyalah seorang pegawai negeri.


Dengan segenap persiapan dan perhitunngan yang telah saya susun, saya mencoba menawarkan keinginan saya tersebut di depan para hadirin dalam ta'lim malam minggu di kediaman Bapak Suhandi. Saya katakan ketika itu bahwa sebetulnya kita sebagai warga secara keseluruhan mestinya sanggup untuk membantu para yatim khususnya yang ada di lingkungan sendiri asalkan ada yang menggerakkan. Mengapa saya katakan demikian, karena walaupun kami tinggal di sebuah kampung yang masih sepi (ketika itu), tetapi ada sekitar 10 hingga 20 orang dari warga kami yang bekerja dengan mendapatkan penghasilan tetap (gaji) walaupun jika diukur dengan kebutuhan, pasti manusia selalu merasa tidak cukup. Saya mencoba memberikan contoh : Jika dari warga Rt. 05/03 Kampung Parakan Jati ada 15 orang yang mempunyai penghasilan tetap bersedia menginfakkan Rp 20.000,00 (dua puluh ribu) perbulan maka setiap bulan akan terkumpul Rp 300.000,00. Serentak para hadirin saling bertanya, mengapa hanya orang yang mempunyai penghasilan tetap yang menjadi sasaran (donatur), mengapa tidak semua warga ? Dengan mengucap puji syukur kepada ALLAH, akhirnya satu pertanyaan yang saya harapkan keluar dari salah satu anggota majlis ta'lim. Maka pada malam itu juga kami sepakati bahwa pada malam minggu di majlis ta'lim malam minggu di rumah Bapak Suhandi ditetapkan telah terbentuk satu organisasi sosial khusus untuk menyantuni para yatim di Rt. 05/03 Kampung Parakan Jati Desa Susukan. Pada malam itu organisasi yang kami bentuk belum memiliki nama. Tetapi telah terbentuk struktur kepengurusannya walaupun hanya ketua, sekretaris dan bendahara.


Selang beberapa hari saya mulai sibuk membuat proposal untuk diedarkan kepada para warga tentang kesanggupannya dalam menyisihkan infak dan shodaqohnya. Dalam edaran tersebut kami tanyakan kepada para warga apakah akan menjadi donatur tetap atau tidak. Jika warga akan menjadi donatur tetap maka setiap bulan kami akan mendatangi rumah donatur tersebut, tetapi jika tidak menjadi donatur tetap kami persilahkan donatur tersebut mendatangi kami untuk memberikan infak dan shodaqohnya.
Kamipun mulai mendata anak - anak yatim yang ada di lingkungan kami dan tercatat ada 9 orang anak yatim yang harus kami santuni setiap bulan. Perlu diketahui bahwa kriteria yatim yang kami santuni adalah yatim di lingkungan Rt.05/03 Kp. Parakan Jati berusia 0 - 15 tahun atau berusia sudah 17 tahun tetapi masih bersekolah tingkat SMA.


Untuk bulan Nopember 2009 hingga Desember 2011 kami telah sanggup menyantuni yatim setiap bulan Rp 70.000,00 (tujuh puluh ribu rupiah) per orang di tambah uang sekolah yang dikenai SPP dan uang untuk pakaian pada menjelang hari raya Idul Fitri. Dan mulai Januari 2012 kami menyalurkan infak dan shodaqoh dari para donatur sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu) perbulan peryatim.
Saat ini kegiatan pemungutannya dipusatkan di Musholla Hidayatullah melalui pengeras suara pada hari minggu, minggu pertama setiap bulan.


Para donatur yang hendak melihat data pemasukan dan pengeluaran dana yang telah kami himpun maka sejak April 2012 bisa di Update di "kaafilulyatim.blogspot.com atau asagenerasiku.blogspot.com".


Demikian sekelumit sejarah berdirinya Kaafilul Yatim. Semoga menjadi sumber inspirasi buat pembaca untuk ikut secara pribadi maupun secara bersama-sama menyantuni yatim.


Beberapa dokumentasi saat santunan di Musholla Hidayatullah